Monique Rijkers: Corong Narasi Zionis dari Nusantara

M

Apa jadinya jika suara dari tanah air sendiri lebih nyaring membela penjajah dibanding membela yang dijajah?”

Pertanyaan ini menghentak nalar siapa saja yang mengikuti geliat opini publik soal Palestina dan Israel di Indonesia.

Di tengah gelombang solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina, muncul satu suara yang berbeda—lantang, jelas, dan kontroversial: Monique Rijkers.

Ia menyebut dirinya jurnalis, aktivis perdamaian, namun orang banyak lebih mengenalnya sebagai corong suara Zionis dari Nusantara.

Monique bukan sekadar sosok publik yang menyuarakan dukungan terhadap Israel.

Ia menjelma jadi simbol dari pergeseran narasi di Indonesia—dari narasi kemerdekaan dan anti-kolonialisme menuju pembelaan terhadap sistem apartheid modern.

Apakah ini sekadar soal kebebasan berpendapat? Ataukah sebenarnya ada “arus bawah yang lebih dalam” dan lebih mengkhawatirkan?

Mesin Propaganda

Monique kerap tampil dalam berbagai forum internasional, membela Israel sebagai negara demokrasi kecil yang “dikepung oleh kebencian”.

Ia mendirikan organisasi Hadassah of Indonesia yang mengedukasi tentang keberagaman khususnya terkait Yahudi dan Israel dan menyuarakan perlunya hubungan diplomatik resmi antara Indonesia dan Israel.

Baginya, ini adalah jalan damai.

Namun, jika kita telusuri lebih jauh, apa yang disebut “damai” itu artinya adalah diam terhadap penindasan.

Retorika yang dibangun Monique mencerminkan “narasi klasik” yang kerap digunakan oleh para penjajah: bahwa mereka hanyalah korban yang bertahan hidup.

Tapi mari kita lihat realitasnya. Amnesty International, Human Rights Watch, dan bahkan laporan dari PBB jelas menggambarkan Israel sebagai negara yang secara sistematis menindas rakyat Palestina—dari pencaplokan tanah, pemukiman ilegal, hingga blokade total terhadap Gaza.

Mengutip Edward Said, profesor sastra di Universitas Columbia, dalam bukunya “Orientalism“, penjajahan modern tidak selalu datang dengan senjata, tetapi lewat narasi propaganda.

Narasi yang membingkai penjajah sebagai korban, dan yang dijajah sebagai ancaman.

Dalam konteks ini, Monique bukan sekadar individu, tapi bagian dari “mesin naratif” yang lebih besar.

Mengapa Ada Suara Zionis di Indonesia?

Indonesia, sebagai bangsa yang lahir dari rahim perjuangan anti-penjajahan, punya DNA yang sangat sensitif terhadap ketidakadilan global.

Dukungan terhadap Palestina bukan hanya soal agama, tapi soal sejarah bersama.

Bung Karno pernah berkata, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”

Lalu mengapa ada orang seperti Monique yang justru memilih berdiri di sisi yang berlawanan?

Pertanyaan ini membawa kita pada fenomena pascakolonial yang disebut identifikasi dengan penindas —sebuah kondisi psikologis dan sosiopolitik ketika seseorang, sadar atau tidak, melihat kekuasaan dan dominasi sebagai jalan kemajuan.

Dalam dunia yang didikte oleh narasi Barat, Israel sering diposisikan sebagai perpanjangan tangan modernitas dan teknologi di tengah “barbarisme” Timur Tengah.

Dan bagi sebagian kalangan elit Indonesia yang terobsesi dengan ‘kemajuan’, dukungan terhadap Israel terasa seperti tanda kedewasaan geopolitik!

Normalisasi Penindasan

Suara seperti Monique bukan hanya perbedaan pendapat.

Ia adalah bagian dari upaya “normalisasi kekerasan” melalui pembingkaian narasi.

Di saat dunia menyaksikan ratusan ribu warga sipil Palestina kehilangan tempat tinggal, akses air, makanan, dan listrik, Monique memilih untuk membahas “hak Israel untuk membela diri”.

Bayangkan … seseorang berbicara tentang hak penjajah untuk bertahan, sementara yang dijajah tak punya suara di forum yang sama.

Ini bukan debat sehat, ini penggiringan opini.

Lebih jauh, narasi seperti ini punya efek domino.

Ia membuka jalan bagi pemutihan kekerasan, mengaburkan realitas, dan menormalisasi hubungan diplomatik dengan negara apartheid, seperti yang mulai terlihat dari wacana-wacana elite Indonesia.

Perlu Narasi Tandingan

Kita perlu lebih dari sekadar mengecam.

Kita perlu membangun narasi tandingan yang kuat—berbasis sejarah, data, dan empati.

Bukan dengan membalas kebencian, tapi dengan memperluas pemahaman publik tentang akar konflik, realitas lapangan, dan cara kita sebagai bangsa bisa berkontribusi pada keadilan global.

Alternatifnya bukan sekadar boikot, tapi juga pendidikan.

Mengintegrasikan sejarah Palestina-Israel ke dalam kurikulum, memperkuat diplomasi rakyat, dan menghubungkan solidaritas Palestina dengan perjuangan hak asasi manusia secara global.

Seperti yang dilakukan oleh gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions), yang menjadi salah satu respons non-kekerasan terbesar terhadap penjajahan Israel.

Apa Benar Kita Masih Anti-Penjajahan?

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan hanya kepada Monique Rijkers, tapi kepada diri kita sendiri:

Apakah kita masih setia pada warisan anti-penjajahan yang diperjuangkan para pendiri bangsa?

Ataukah kita sudah terlalu silau oleh kilau diplomasi dan kepentingan geopolitik, sehingga lupa bahwa keadilan bukan sekadar pilihan, tapi amanat konstitusi dan nurani?

Monique mungkin hanya satu suara. Tapi jika suara itu didiamkan, dibungkus kebebasan berpendapat tanpa kritik, ia bisa menjadi pembuka gerbang untuk bentuk penjajahan baru …

—lebih halus, tapi tak kalah mematikan.

Jangan Biarkan Ingatan Kita Dimanipulasi

Kita hidup di zaman ketika narasi bisa dibentuk oleh media sosial dan opini viral.

Tapi sejarah tak boleh dikaburkan oleh algoritma.

Dukungan terhadap Palestina bukan sekadar tren.

Itu adalah bagian dari identitas politik dan moral bangsa Indonesia.

Mari jangan biarkan suara-suara seperti Monique Rijkers menggiring kita melupakan siapa kita sebenarnya.

Sebagai bangsa yang pernah dijajah, kita punya tanggung jawab moral untuk berdiri bersama mereka yang ditindas—bukan berdiri di samping penindas dengan dalih perdamaian.

“Di tengah dunia yang penuh ilusi, menjadi waras adalah bentuk perlawanan.”

— George Orwell

Jika artikel ini menggugah hati dan nalar Anda, _sebarkan, diskusikan, dan lawan narasi yang membungkam keadilan dengan bahasa diplomasi palsu._

Karena keheningan kita hari ini …. bisa menjadi kesepakatan diam atas penjajahan esok hari.

——-

Referensi

Monique Rijkers: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Monique_Rijkers

Edward Said: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Edward_Said

About the author

Nilna Iqbal
By Nilna Iqbal