Dalam membangun impian, saya sering berhadapan dengan realitas yang kurang menyenangkan. Bagaimana tidak, impian yang mau saya bangun itu terasa masih terlalu jauh. Belum bisa memberikan sedikitpun “penghasilan” untuk “hidup sekarang”.
Apa akal? Apakah saya harus lupakan saja impian itu? Apakah saya mundur? Menyerah? Waw … saya akui itu memang solusi yang paling mudah. Tapi “bukankah memang jalan mendaki itu pasti memang sulit?”
Saya sering terinspirasi quote itu. Ketika saya menghadapi masalah, lalu begitu mudah saja penyelesaiannya, saya malah curiga, hasilnya nggak bener. Namun ketika ada persoalan, lalu saya rasakan makin sulit menyelesaikannya, saya malahan tambah gembira. “Ini pasti okey hasilnya”.
Beberapa kali saya mengalami peristiwa-peristiwa yang membuktikan kebenaran hal itu. Yang paling terasa bila saya ikut perlombaan. Saya memang beberapa kali ikut lomba-lomba penulisan tingkat nasional. Saat saya memutuskan ikut lomba, saya sudah bilang pada diri saya, harus hanya ikut untuk jadi juara pertama. Bukan juara kedua, ketiga atau juara harapan. Lha buat apa ikut lomba, kalau niatnya cuma iseng-iseng berhadiah.
Ketika saya memulai proses mengerjakan tulisan, saya jadi stress berat. Tiba-tiba semua kemampuan saya mandul. Tiba-tiba ide-ide macet. Saya jadi heran juga. Mungkin karena targetnya terlalu tinggi, jadi malahan “nggak bisa” nulis.
Tapi memang, alangkah mudahnya untuk memilih jalan menurun. Mudah sekali untuk mundur. Gampang sekali untuk menyerah, berhenti. Tapi biasanya kalau itu benar-benar saya lakukan, beberapa hari kemudian, akan timbul penyesalan. “Ah seandainya dulu saya teruskan ….”
Dalam situasi begitu saya selalu teringat firman Tuhan, “Sesudah kesulitan pasti datang kemudahan“. Alhamdulillah datanglah “perasaan lega”, muncullah keyakinan, bahwa saya berada “on the right track“. Dan memang, hasilnya saya jadi juara pertama. Tiga kali saya ikut lomba, tiga-tiganya alhamdulillah juara pertama.
Karena itulah ketika saya menghadapi kesulitan demi kesulitan dalam membangun impian saya, tak ada yang lebih menghibur saya kecuali “iman” dengan “sunnatullah” itu. Saya menganggapnya sebagai “principle of success“, sebagai sunnatullah menuju sukses. Memang itulah jalan yang benar menuju sukses (tapi bukan sukses semu lo).
Bagi saya, kesulitan-kesulitan yang saya alami saya anggap sebagai “ciri-ciri” bahwa saya akan berhasil. Karena itu saya makin semangat. Buat saya ia menjadi “tanda-tanda” bahwa apa yang sedang saya lakukan akan membuahkan hasil yang saya inginkan.
Saya mengalaminya. Tapi saya kurang tahu apakah orang lain juga mengalaminya. Bisakah anda membagikan pengalaman anda?
*** Penulis: Nilna Iqbal