Dalam menghadapi masa-masa sulit, untunglah ada satu kebiasaan saya tidak hilang. Saya sering menghabiskan waktu saya membaca buku dan mengikuti seminar-seminar. Banyak sekali saya belajar hal-hal baru.Saya mulai belajar mengembangkan kepribadian saya. Saya belajar tentang sikap sukses. Saya belajar tentang arti sukses yang benar-benar sukses, bukan hanya sekedar sukses yang semu (pseudo success).
Saya mulai berkenalan dengan jalan pikiran orang-orang yang benar-benar mengalami sukses, dan sering menangisi hidup saya yang belum bisa seperti mereka. Beberapa seminar yang menghadirkan tokoh-tokoh sekaliber John C. Maxwell dan Robert Kiyosaki pun saya datangi. Saya benar-benar terinspirasi oleh mereka.
Khususnya semenjak saya menikah, saya mendefinisikan ulang hidup saya. Sukses seperti apa yang ingin saya capai? Sukses secara materi?
Ah tidak, saya sudah tidak terlalu tertarik lagi dengan materi. Saya hanya ingin bahagia. Bahagia karena selalu dekat dengan istri dan anak-anak saya. Saya mulai memimpikan kehidupan yang bebas, suatu kehidupan yang benar-benar tidak terpenjara berbagai “perintah orang lain”. Saya lah yang memegang kontrol penuh terhadap kehidupan saya. Saya ingin menikmati hidup seperti itu.
Tapi saya jadi bingung. Ini berarti saya tidak mungkin melakukan bisnis yang serius, apalagi bekerja (dengan orang lain). Saya sangat tidak suka dengan keharusan bekerja berangkat pagi, pulang sore atau malam. Saya suka kasihan melihat orang-orang yang melakukannya. Lebih-lebih para ibu, sampai-sampai tega meninggalkan anak-anaknya.
Buat saya, kebebasan waktu lebih penting daripada kebebasan finansial. Saya ingin bebas dari masalah-masalah pekerjaan dan rutinitas bisnis. Rasanya seperti terpenjara. Karena itu saya harus cari terobosan. Bagaimana caranya bisa hidup bebas, tetapi uang untuk dapur lumayan.
Memang tidak mudah. Banyak sekali tantangan. Banyak sekali godaan untuk keluar dari “impian”.
Tapi alhamdulillah, hampir 7 tahun saya lakukan pola ini, saya masih bisa bertahan. Godaan demi godaan saya saring, saya pelajari dampaknya, dan bila “membahayakan” impian saya, saya tinggalkan.
Suatu kali pernah saya terpaksa melakukan suatu proyek yang sedikit menyita waktu saya sehingga saya mulai “keluar jalur”. Ketika saya tersadarkan, segera saya mengambil keputusan: meninggalkan bisnis itu dan menyerahkannya begitu saja kepada orang lain yang mau, bahkan tanpa konsekuensi keuangan.
Tentu saja secara finansial saya rugi. Bisnis yang sedang saya bangun sudah mendekati tahap “berbuah” eh malahan saya tinggalkan. Orang lain yang kemudian mengambil manfaatnya. Tetapi ya itulah. Saya harus siap dengan pengorbanan. Sekali lagi, saya hanya ingin tetap berada dalam jalur impian saya.
*** Penulis: Nilna Iqbal