oleh Nilnaiqbal
Percobaan berikut ini pernah dilakukan di Woods Hole Oceanographic Institute. Barangkali Anda pun bisa melakukannya.
Ambillah sebuah akuarium, lalu bagi dua dengan sebuah dinding kaca yang bening sekali. Terciptalah semacam “akuarium ganda“.
Sekarang carilah seekor ikan barracuda dan seekor ikan mullet (barracuda memang memangsa mullet). Masukkan keduanya ke dalam masing-masing akuarium.
Lihatlah dalam sekejap saja, barracuda akan segera menyerang mullet. Lalu … duk! Ia ternyata menabrak dinding kaca pembatas yang kita pasang itu. Lalu ia berbalik lagi, mencoba lagi, menyerang lagi ….. duk! Lihat dan biarkan seperti itu sampai beberapa minggu.
Berkali-kali moncong barracuda akan kesakitan sekali. Sehingga akhirnya ia berkesimpulan dan memperoleh keyakinan bahwa “berburu mullet sama artinya dengan sakit”.
Kini buka kembali dinding kaca yang menjadi pemisah akuarium itu. Coba tebak, apa yang terjadi? Lihatlah, ternyata barracuda akan membiarkan saja mullet berenang beberapa centimeter di sampingnya, bahkan sampai akhirnya ia mati!
Menyedihkan sekali, bukan! Tetapi bukankah sebenarnya, kebanyakan kita juga mengalami kisah yang sama?
Betapa banyak batasan-batasan yang membelenggu pikiran dan sikap kita. Kalimat-kalimat apa yang tanpa sadar sering kita ucapkan sekalipun dalam hati? Apakah kalimat-kalimat begini? “Saya tidak mungkin berhasil. Saya tak suka itu. Saya orangnya memang begini, mau gimana lagi? Ini sudah jadi takdir saya, jadi saya harus menerimanya.”
Kita berada dalam penjara keyakinan kita. Kita tahu persis batas-batasnya. Dan kita tak mau keluar dari batas-batas itu. Kita merasa tak sanggup menabraknya. Keyakinan itu telah menjadi batas wilayah kita, yang bahkan terus kita pertahankan sampai kini. Sekalipun ia menghancurkan kehidupan kita. Sehingga banyak juga orang yang bahagia dalam kesengsaraan dan kebodohannya.
Dari berbagai pengalaman hidup, dari berbagai informasi, dari berbagai input … khususnya kata-kata orangtua kita, bacaan-bacaan kita, guru-guru kita …. lalu terbentuklah keyakinan kita. Itulah yang membentuk “kandang kaca” dalam pikiran kita, dan kita menganggapnya sebagai kenyataan. Padahal itu hanyalah apa yang kita yakini.
Lalu, bagaimana cara kita menghadapinya?
Suatu hari saya mencoba mendaftarkan semua kalimat yang saya percaya tentang diri saya. Saya tuliskan sebanyak-banyaknya. Semua sifat saya, keyakinan saya, kebiasaan saya, paradigma hidup saya, hal-hal yang saya suka, hal-hal yang tidak saya suka, impian-impian saya … pokoknya semua kalimat yang “hidup” dalam diri saya.
Luar biasa! Saya kaget sekali ketika membacanya. Betapa banyak hal-hal selama ini yang tidak saya sadari, ternyata mempengaruhi sikap saya. Daftar itu kemudian saya simpan untuk saya analisa dan merancang langkah-langkah perbaikan.
Saya harus mulai dengan prinsip “mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan” itu. Saya mungkin perlu menguji dan menganalisa keyakinan apa saja yang perlu saya revisi, dan keyakinan mana yang perlu saya perkuat. Saya perlu untuk mengubahnya, jika memang keyakinan itu perlu diubah.
Dalam prakteknya, saya memulainya dari kalimat-kalimat keyakinan tentang sifat, karakter dan kebiasaan saya. Saya kira ini memang penting untuk saya ubah. Saya ingin tumbuh menjadi lebih baik lagi.
Bahkan, saya siap juga untuk sedikit memberanikan diri “nyerempet bahaya” mempertanyakan beberapa kalimat keyakinan yang berhubungan dengan aqidah dan keimanan saya. Masalahnya banyak sekali keyakinan keimanan saya yang sifatnya “tetesan orang tua“. Padahal akan lebih baik lagi bila kita meyakini sesuatu berdasarkan ilmu. Untuk yang ini saya tentu tidak akan gegabah. Saya perlu berhati-hati. Tapi ya, saya pikir, nggak ada salahnya. Beberapa mungkin akan berubah, tapi saya kira saya harus siap.
Anda punya saran?