oleh Maya A. Pujiati
Pasti kita sering mendengar bahwa anak-anak dilahirkan dengan kepribadian unik. Orang tua yang memiliki beberapa anak pasti dengan cepat bisa menyadari bahwa setiap anak memiliki sikap yang berbeda-beda. Anak pertama banyak bicara, anak kedua penyendiri, anak ketiga sering mengalah, dan sebagainya. Bagaimana menyikapi berbagai karakter tersebut, ternyata ada ilmunya, lho.
Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus for Parents membedah teori temperamen dari seorang ahli fisiologi Romawi bernama Galen. Menurut Galen, ada 4 kepribadian dasar manusia, yaitu: Sanguine (Sanguinis), Choleric (Koleris), Melancholy (Melankolis), dan Pleghmatic (Phlegmatis).
Supaya lebih mudah memahami keempat karakter tersebut, berikut ini gambaran yang dijelaskan Litteaur:
Karakter Sanguinis
·Terus berceloteh
.Suka mencari perhatian dari orang-orang di sekitar mereka
·periang
·tidak teratur
·emosi pasang surut
.pelupa
.cepat bosan
·Hipersensitif terhadap penilaian orang tentang mereka
Karakter Koleris
·Berani dan antusias
·Pekerja yang produktif
·Senang mengorganisasikan teman-teman di sekitarnya
·Berusaha mengendalikan dan mengharapkan pengakuan orang lain atas prestasinya
·Suka ditantang
·temperamen berubah-ubah
·Keras kepala
.suka berdebat
.manipulatif
.tidak peka terhadap perasaan orang lain
Karakter Melankolis
·Berpikir mendalam
·Bertalenta
.perfeksionis
.serius
.pemurung
.terlalu peka
.menghindari kritik
Karakter Pleghmatis
.mengamati yang lain
.mudah dihibur
.dapat diandalkan
.mudah setuju
.egois
.suka menggoda
.penakut
.pemalas
.diam-diam keras kepala
“Mama, kakak besok mau pergi ke warung sama mama, terus makan kue, habis itu baca buku, dan siap-siap mandi. Kalau sudah besar kakak mau membantu mama mencuci piring, menyapu, dan sebagainya, boleh kan Ma? Terus….”
Itulah anak pertama saya Azkia. Ekspresi dia atas apapun adalah suara. Sekali ia memulai pembicaraan, mengalirlah kalimat demi kalimat seolah tak sempat menghela nafas. Dia bisa menuturkan semua rencana yang akan dilakukannya dalam satu hari atau satu momen tertentu hingga detail lewat suaranya yang ramai.
Kalau bermain kejar-kejaran dengan adiknya, suara tawanya lebih kencang daripada larinya. Saat dia masih bayi, susah sekali meninggalkannya sendirian di kasur walau sebentar. Harus selalu ada seseorang yang menemani dia walaupun cuma duduk.
Menyimak teorinya Litteaur, jelas sekali kalau dia seorang SANGUINIS walau kadang-kadang juga nampak KOLERIS.
Dijamin deh! Tak akan kesepian punya anak seorang sanguinis. Tapi, bagaimana kalau ibunya justru termasuk tipe orang yang jarang bicara atau tidak suka berkomentar. Ternyata akibatnya bisa fatal juga, lho…
Kurang lebih setahun yang lalu, seorang ibu datang ke rumah saya. Ia meminta saya mengajar anaknya membaca. Selain bisa membaca, dia berharap anaknya bisa lebih baik dalam berkomunikasi.Di usianya yang menginjak 3 tahun ternyata si anak mengalami kesulitan bicara. Dia bisa bersuara, namun bahasa yang keluar tidak bisa kita pahami. Si ibu memang cukup paham maksud kata-kata anaknya, karena ia selalu bersama anaknya. Tetapi orang lain yang mendengarnya, termasuk saya, jelas-jelas tidak mengerti.
Waah! saya bingung juga. Saya kan bukan seorang terapis bicara. Tapi untuk menyenangkan si ibu, saya datang juga ke rumahnya.
Anak itu terlihat bersemangat dan gembira. Dia mau duduk di pangkuan saya sambil melihat kartu-kartu kata yang saya bawa.Dia tertawa dan kadang-kadang bicara. Saya cuma bilang, “Ooh!” Sungguh saya tak bisa mencerna suara dia.
Sebentar saya belajar bersama dia. Selanjutnya saya ngobrol pada ibunya. Penasaran saya tanya ibu muda itu, “Ibu kayaknya jarang ngobrol ya sama anak Ibu?” tanya saya.
Si ibu tertawa,”Koq tahu, sih!”
Saya kaget juga. Wah! Bener ya dugaan saya. Kelihatannya ibu ini memang agak jarang berkomunikasi dengan anaknya. Soalnya beberapa kali saya menemukan kasus serupa, dan ibunya memang termasuk orang yang jarang ngobrol. Entahlah!
“Habisnya, saya bingung Mbak. Emangnya ngobrol apa ya sama anak kecil?” lanjutnya lagi.
Benar-benar saya tertawa waktu itu.
“Ya ampun, Ibu. Ya obrolin apa aja. Kalau ibu lagi kerja kan bisa sambil ngajak dia ngobrol tentang apa pun yang ibu kerjakan,”.
“Apanya yang diomongin, Mbak. Biasanya kalau saya mau beres-beres atau masak, sengaja anak saya sudah dimandikan dulu, lalu di suruh duduk di kursi sambil nonton TV. Berapa jam pun saya kerja dia asyik aja,”
“Aduh, Bu. Sayang sekali. Jangan-jangan itu juga yang menjadi sebagian penyebab, mengapa anak Ibu belum bisa bicara dengan jelas di usia tiga tahun. Dia memang tidak mendapat stimulus yang intensif dalam berbicara,” kata saya.
“Mungkin iya, ya…” ibu itu tertawa – miris.
Lain halnya dengan Luqman, anak kedua saya. Dia fokus pada tujuan dan sedikit perfeksionis. Setiap kali sehabis mandi, dia akan meminta baju berlengan panjang. Karena bagian lengan baju agak panjang, dia meminta saya melipat sedikit ujungnya. Tapi menakjubkan, sebelum lipatannya pas menurut ukuran dia, dia belum mau beranjak untuk memakai celana ataupun menyisir. Kadang-kadang saya tertawa terpingkal-pingkal kalau beberapa kali lipatan yang saya buat masih juga belum tepat, dan dia protes. Merujuk teorinya Litteaur anak kedua saya tampaknya bertemperamen koleris-melankolis. Percuma mengkritiknya, yang perlu hanya memahaminya.
Nah! Cerita di atas sekedar cuplikan.Kalau tertarik untuk belajar lebih jauh tentang kepribadian anak, banyak lagi cerita dan pelajaran seru yang langsung diceritakan Florence Litteaur dalam bukunya,
Judul : Personality Plus for Parents
Penerbit : Binarupa Aksara.
sumber:
http://pendidikan-rumah.blogspot.com/2007/07/kepribadian-anak-kita-adalah.html