Seorang kawan diberi modal 50 juta oleh mertuanya untuk memulai sebuah usaha di bidang pendidikan. Apa yang ia lakukan?
Yang pertama sekali ia pikirkan adalah kantor. Segera ia mencari tempat untuk menyewa kantor. Ia cari tempat yang cukup strategis, enak, dan rada elit. Ia tak mampu ia menahan godaan, “Pokoknya kantor gue harus keren, elite”. Ludeslah sudah 30 juta untuk masa sewa 2 tahun.
“Ah masih ada cukup uang untuk beli alat-alat kantor,” pikirnya. Maka tanpa pikir panjang dia lengkapi kantornya dengan sofa, meja, lemari, laptop, dan barang-barang keperluan kantornya lainnya senilai 15 juta. Lalu dia rekrut 2 orang karyawan untuk mengelola kantor itu. Satu orang sekretaris yang cantik dan satu orang office boy. Sekarang uangnya tinggal 5 juta untuk modal kerja.
Tiga bulan kemudian saya datang “bertandang” ke kantornya, ia sedikit bangga dengan keberadaan kantornya. Ia merasa eksis. Senyumnya begitu lebar. Ia merasa benar-benar telah menjadi “orang sukses”.
Lalu saya bertanya padanya, “Gimana, usahanya lancar ‘kan?”
Ia terdiam. Saya bisa membaca apa yang sedang berkecamuk di kepalanya. Akhirnya ia jujur menceritakan, bahwa ia sekarang mulai dililit utang. Pemasukan masih kecil, bahkan untuk biaya operasional saja nggak ketutup.
Apa yang ganjil dalam kasus diatas? Saya melihatnya: teman saya itu terjebak pada formalitas bisnis. Ia lebih mementingkan formalitas, dibandingkan dengan inti bisnisnya.
Seandainya saya yang diberi modal seperti itu, apa yang akan saya lakukan? Saya simpan saja dulu di bank. Sebagian dalam deposito jangka pendek, sebagian dalam rekening giro. Lalu saya hanya akan fokus “pergi ke pasar” dan “bikin uang” (bukan cari uang). Baru kemudian tempat, alat kantor, dll.
Bagaimana menurut anda?
*** Penulis: Nilna Iqbal