Tatkala manusia meninggalkan dunia fana ini, jasadnya kembali ke kubur, terbujur membelai pusara. Tubuh yang dulunya begitu mempesona, yang senantiasa dibangga-banggakan pemiliknya, kini jadi santapan bakteri dan ulat-ulat usil yang ganas dan kelaparan. Kecantikan, ketampanan, kekekaran tiada berguna. Harta, pangkat dan jabatan tak menolong. Anak, isteri, handai dan tolan sedikitpun tak berdaya. Mereka hanya bisa menangis, meratap,menjerit histeris.
Setelah habis beberapa hari, jasad itu pun mulai membusuk. Tak tahulah lagi bagaimana nasibnya. Mungkin ia telah lebur menjadi tanah. Yang tinggal hanya tulang-belulang buat saksi sejarah abad mendatang, bahan penyelidikan ahli perbakala abad nanti.
Semasa masih hidup, manusia bersolek, berlepotan gincu di bibir nan merah. Wajah di-bedak-in setiap hari, biar tampak menawan. Dirawat badan tiap hari, disisirnya rambut tiap saat. Kagum manusia memandangnya. Takjub ia pada keelokan tubuhnya sendiri.
Cuma, ada satu pertanyaan berat yang mengganjal di hati. Bukankah semua itu pada akhirnya nanti hanya jadi santapan lezat ulat-ulat ganas? Apakah ini adil namanya? Ataukah mungkin otak sudah tidak lagi waras? Bukankah ini realitas yang semua orang, tanpa kecuali, kan mengalaminya? baik orang tua, maupun yang masih muda.
Coba tengok hewan-hewan yang sedang berkeliaran. Perhatikan para penghuni kebun binatang. Hidupnya tak lebih hanya diisi dengan makan, kawin, tidur, berkicau atau bersenda gurau. Bukankah manusia juga berlaku demikian setiap harinya? Lantas apa bedanya manusia dengan makhluk-makhluk rendah itu? Bukankah manusia adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya yang Allah sendiri memuliakannya. Bukankah manusia dijadikan Allah sebagai khlaifah, penguasa, pemimpin dimuka bumi ini. Tidak pada hewan, tidak pada gunung, tidak pada jin, dan bahkan pada malaikat pun tidak. Adakah penghormatan yang lebih tinggi dari kedudukan ini, yang Allah sendiri telah melantiknya?
Tentu, dan pasti, ada perbedaan mendasar antara manusia dan hewan. Manusia baru dapat disebut manusia jika ia terdiri dari jasmani dan rohani. Kalau hanya fisik saja, berarti ia sudah mati, atau mungkin binatang…! Manusia memiliki akal, perasaan dan badan. Tanpa akal, samalah ia dengan hewan berkaki empat. Tanpa perasaan, samalah ia dengan robot. Tanpa badan, sama pula ia dengan hantu, barangkali.
Kalau demikian halnya, maka yang dimaksud dengan membina diri pribadi, adalah membentuk diri menjadi manusia yang sesungguhnya. Artinya membina semua unsur-unsur yang membentuk manusia itu, tanpa kecuali. Bukan hanya mempercantik tubuh saja, melainkan mempercantik semuanya. Otak diisi dengan ilmu sebanyak-banyaknya, perasaan diperhalus setajam-tajamnya, tubuhpun dirawat seelok-eloknya. Dari sanalah baru muncul sosok manusia yang sesungguhnya. Manusia yang punya pribadi integral, bukan parsial.
Namun dalam mewujudkan cita-cita itu memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ada perjuangan berat yang mesti dilalui. Perang itu berkobar dalam diri kita sendiri, sampai detik ini. Perang mana lagi yang lebih besar daripada memerangi diri sendiri?
Siapa pula yang sanggup menyusun strategi, memimpin perjuangan dan sekaligus memenangkannya? Ia pastilah seorang yang paling cerdas, paling tahu segalanya, paling ngerti seluk-beluk perjuangan hidup, paling tahu kelemahan dan kekuatan lawan, paling bijaksana langkahnya, paling kuat dan berkuasa, dan serba paling yang lainnya. Siapa lagi kalau bukan pencipta makhluk itu sendiri. Kenapa? Karena ia sendirilah yang menciptakannya. Lha … kebodohan apa lagi namanya, kalau ditunjuki ke jalan kemenangan, malah membantah, hanya lantaran tak mau melakukannya. Ketololan apa lagi yang lebih besar daripada menentang dan mengacuhkan jalan kebahagiaan yang padahal buat keselamatan dirinya jua? Otak manusia kadang memang lebih pandir lagi daripada otak siput yang amat lambat jalannya.
Begitulah, guna terwujudnya pribadi yang terintegrasi (tersatupadu) tadi, Allah, Sang Pencipta, telah menurunkan petunjuk lewat para utusan-Nya. “Buku petunjuk” itu tak dibeli. Gratis. Allah tak harapkan apa-apa dari kita, manusia. Malahan sering kita yang selalu mendambakan karunia-Nya.
Sekalipun kita menetang-Nya, Allah tak pernah putuskan tali nafasnya, Matahari tetap bersinar seperti sedia kala. Begitu kasihnya Allah pada hamba-Nya.
Maka adalah bijaksana bila senantiasa kita merenung setiap selesai melangkah beberapa tapak. Sudah tepatkah ini jalan Allah, atau malah telah jauh menyimpang? Artinya apa? Isilah, penuhilah haknya rohani kita, diri kita sendiri. Ia juga lapar. Ia butuh makanan. Bekali ia dengan laporan pertanggungjawaban yang nanti akan diserahkannya dalam majelis Allah. Islamkan lagi rohani kita. Jiwai sikap hidup jasmani dan rohani kita dengan wajah Islam, wajah kedamaian dan kepatuhan. Bukan kebengisan dan kekejaman. Jangan hanya berolah raga saja, tapi juga olah otak sekaligus olah rasa. Olahlah ketiganya dengan berbumbukan iman dan taqwa pada-Nya.
Dengan demikian jasmani dan rohani akan saling bercumbu mesra, saling cinta. Akal, rasa, raga dan iman kan berpadu, berintegrasi membentuk sosok muslim yang serasi, selaras dan seimbang serta harmonis. Semua tercermin dari sikap hidupnya sehari-hari. Pikirannya cemerlang, cenderung pada kebenaran ilahi, dari siapa pun datangnya. Ilmunya dipersembahkan buat mendekatkan diri pada-Nya, memperteguh imannya, lalu disumbangkannya buat kesejahteraan umat manusia. Perasaanya halus luar biasa tajamnya. Menyenangkan hati setiap orang yang bergaul dengannya. Tubuhnya pun terampil, sehat dan perkasa, yang senantiasa siap terjun menolong siapa pun yang membutuhkannya, yang selalu lincah bergerak dalam jalan-Nya. Ia ibarat pohon yang senantiasa mengayomi, melindungi orang-orang yang berada di bawahnya.
Hmm … siapa pula yang tak kan iri melihatnya? Bagaimana menurut anda?
*** by Nilna Iqbal