Selama berabad-abad para dokter telah dilatih oleh para pasien bagaimana mengikuti upacara pemberian resep.
Kebanyakan pasien menganggap keluhan mereka belum ditanggapi dengan sungguh-sungguh sebelum mereka menggenggam secarik kertas kecil berisi coretan yang sulit dibaca namun mengandung “mukjizat”.
Bagi pasien, resep merupakan sertifikat jaminan penyembuhan. Resep adalah surat tanda hutang dokter yang menjanjikan kesehatan baik. Resep adalah tali pusar psikologis yang menyediakan hubungan yang menghidupkan dan kekal antara dokter dan pasien.
Dokter tahu bahwa kertas resep itu sendiri, lebih daripada apa yang tertulis di atasnya, sering merupakan unsur vital untuk memungkinkan pasien mengenyahkan apapun yang ia derita. Obat tidak selalu diperlukan.
Yang selalu diperlukan adalah kepercayaan untuk sembuh. Sugesti. Maka dokter pun dapat memberikan resep placebo (obat semu) dalam kasus-kasus dimana jaminan bagi pasien jauh lebih bermanfaat daripada pil terkenal tiga kali sehari.
Placebo, Obat Semu…
Penelitian tentang placebo membuka wawasan yang luas mengenai bagaimana tubuh manusia dapat menyembuhkan diri sendiri. Juga, tentang kemampuan misterius dari otak untuk menimbulkan perubahan-perubahan biokimia yang penting guna memerangi penyakit.
Placebo berasal dari kata kerja latin yang berarti “menyenangkan”. Maka dalam arti klasiknya, placebo adalah pengobatan tiruan.
Biasanya berbentuk tablet gula-susu biasa yang dimiripkan pil sungguh-sungguh. Ia diberikan lebih demi tujuan menenangkan pasien daripada memenuhi kebutuhan organik yang didiagnosakan secara jelas.
Namun penggunaan placebo pada tahun-tahun belakangan ini paling sering dimaksudkan untuk mencoba obat-obatan baru.
Efek-efek yang dicapai oleh percampuran bahan uji diukur terhadap efek yang ditimbulkan oleh pemakaian “obat tiruan” atau placebo.
Untuk waktu yang cukup lama, buat sebagian besar dokter, placebo pada umumnya mendapat nama jelek. Bagi banyak dokter, istilah itu mengingatkan pada bahan-bahan penyembuh semu atau “pseudomedicament”. Juga terdapat perasaan bahwa untuk sebagian besar placebo merupakan jalan pintas bagi dokter-dokter tertentu yang tak mau membuang waktu atau kerepotan menyelidiki sumber penyakit yang sesungguhnya.
Namun kini placebo yang pernah dipandang rendah itu telah mendapat perhatian sungguh-sungguh dari para ilmuwan kedokteran. Para penyelidik kedokteran telah menemukan bukti yang cukup kuat yang memperlihatkan bahwa placebo tidak hanya dapat dibuat mirip dengan suatu obat yang amat manjur, tetapi memang benar-benar dapat bertindak sebagai obat.
Mereka memandangnya tidak hanya sebagai siasat psikologis dokter dalam merawat pasien-pasien tertentu, tetapi sebagai zat terapis untuk mengubah susunan kimia tubuh dan guna membantu mengerahkan pertahanan tubuh dalam memerangi gangguan atau penyakit.
Sementara cara placebo bekerja di dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui, beberapa peneliti placebo berteori bahwa ia menggiatkan cerebral cortex. Pada gilirannya, ia menghidupkan sistem endoktrin pada umumnya dan kelenjar adrenalin pada khususnya.
Apapun liku-liku yang tepat dalam pikiran dan tubuh, telah ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa placebo dapat sama ampuhnya dengan obat aktif yang digantikannya. Bahkan kadang-kadang lebih ampuh.
Jelas tak masuk akal untuk mengatakan bahwa para dokter tidak boleh memberikan resep obat-obat aktif farmakologis. Ada saat-saat dimana pengobatan secara mutlak penting. Tetapi seorang dokter yang baik selalu waspada terhadap kekuatannya.
Tidak ada kekeliruan pendapat umum yang lebih besar mengenai obat-obatan daripada pernyataan bahwa suatu obat adalah bagaikan sepucuk panah yang dapat ditembakkan ke sebuah sasaran tertentu. Efek yang sebenarnya lebih menyerupai tebaran duri-duri landak. Obat apapun atau makanan apapun harus melalui suatu proses dimana sistem manusia akan memecah-mecahnya untuk digunakan keseluruhannya.
Maka dari itu, hampir tak ada obat yang tidak mempunyai efek sampingan tertentu. Dan semakin digembar-gemborkan pemakaiannya -anthibiotika, kortison, penenang, senyawa-senyawa anti tekanan darah tinggi, bahan-bahan anti peradangan, pelemas otot- kian besar pula masalah efek sampingnya yang merugikan.
Obat-obatanlah yang mengubah atau mengatur kembali keseimbangan dalam aliran darah. Mereka dapat menyebabkan darah membeku lebih cepat, atau lebih lambat.
Mereka dapat memperkecil kadar zat asam dalam darah. Mereka dapat mendorong sistem endoktrin, memperlaju aliran asam hindrokloris ke lambung, memperlamban atau mempercepat lewatnya darah melalui jantung, merusak fungsi pembuatan darah dari tubuh dengan menekan sumsum tulang, mengurangi atau menambah tekanan darah, atau mempengaruhi pertukaran ‘natrium kalium’ yang memegang peranan vital dalam keseimbangan kimiawi tubuh.
Yang menambah rumit dilema dokter dengan obat-obat itu adalah kenyataan bahwa banyak orang cenderung memandang obat seolah-olah seperti mobil. Tiap tahun harus menghasilkan model baru, dan semakin kuat semakin baik.
Terlau banyak pasien merasa bahwa seorang dokter kurang cakap bila resepnya tidak menyebutkan suatu antibiotika baru. Atau bila dokter tidak menyebut obat ajaib lain yang pernah didengar pasien dari seorang teman atau yang pernah dibaca di media massa.
Berhubung bahaya-bahaya yang sangat nyata berkaitan dengan obat-obat baru yang kuat, seorang dokter modern yang hati-hati akan benar-benar menggunakan kebebasan memilihnya. Ia akan menentukan obat-obat yang kuat apabila ia merasa obat itu mutlak diperlukan. Namun ia tidak menghiraukan placebo, atau tidak memberikan apa-apa sama sekali, apabila obat kuat tidak mutlak diperlukan.
Cara Placebo Bekerja
Contoh hipotesis tentang bagaimana placebo bekerja adalah kasus seorang usahawan muda. Ia datang pada dokternya dan mengeluh menderita berbagai sakit kepala dan sakit perut yang hebat. Sehabis mendengarkan dengan telaten, pasien yang menggambarkan bukan saja penyakitnya tapi juga problem-problemnya, sang dokter memutuskan bahwa usahawan itu sedang menderita penyakit umum abad ke-21 ini yaitu: ketegangan.
Fakta bahwa ketegangan bukan ditimbulkan oleh kuman maupun virus tak berarti akibatnya lalu kurang parah. Di samping rasa sakit yang parah, hal itu juga dapat membawa kecanduan minuman keras, obat bius, bunuh diri, perpecahan keluarga, dan pengangguran.
Dalam bentuknya yang ekstrim, ketegangan dapat menimbulkan simtoma “histeria konversi”-suatu penyakit yang dilukiskan oleh Jean Charcot, guru Freud. Kecemasan dan ketakutan pasien itu berubah menjadi simtosa fisik murni, yang dapat sangat menyakitkan atau bahkan melumpuhkan.
Dalam pertanyaan-pertanyaan yang simpatik, dokter itu jadi tahu bahwa usahawan tadi mencemaskan kesehatan buruk dari isterinya yang sedang hamil. Ia juga mencemaskan orang-orang muda yang baru dipekerjakan di kantor yang ia sangka sedang mengincar kedudukannya.
Dokter menyadari, langkah pertama yang mesti diambil adalah meyakinkan pasien bahwa pada dasarnya kesehatannya beres. Tetapi pasien cukup hati-hati untuk tidak ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Pasien cenderung untuk mengira bahwa mereka dituduh mengkhayalkan sintomanya, dituduh pura-pura sakit, jika diagnosa terhadap keluhan mereka ditentukan sebagai berasal dari psikis.
Dokter itu tahu bahwa pasiennya, sesuai dengan kebiasaan, tak akan merasa lega tanpa diberi resep. Tetapi dokter itu juga tahu bahwa pengobatan mempunyai batas. Ia enggan untuk memberikan obat penenang karena ia berpendapat obat begitu akan menimbulkan efek yang merugikan dalam kasus khusus ini. Ia tahu bahwa aspirin akan menghilangkan sakit kepala tetapi juga akan mengganggu masalah lambung dan usus, sebab sebutir pil saja dapat menimbulkan pendarahan dalam. Ia mengenyampingkan obat pencernaan karena ia tahu bahwa sakit perut itu ditimbulkan oleh problem emosional.
Maka dokter itu menuliskan resep yang pertama-tama tak mungkin menyakitkan pasien dan kedua dapat menghilangkan sintoma-sintomanya. Dokter itu mengatakan kepada si usahawan bahwa resep khusus itu akan banyak khasiatnya dan bahwa ia akan sembuh sama sekali. Kemudian ia berbincang dengan pasiennya tentang cara-cara yang mungkin untuk memecahkan masalah-masalah di rumah dan di kantornya.
Seminggu kemudian usahawan tadi menelepon dokter untuk melaporkan bahwa resepnya telah mendatangkan keajaiban. Pusing di kepala telah lenyap dan sakit di perut berkurang. Kekhawatirannya akan kesehatan isterinya berkurang setelah mereka mengunjungi dokter ahli kebidanan, dan agaknya ia juga dapat bergaul dengan baik di kantor. Masih berapa lama lagikah ia harus menelan obatnya?
Dokter berkata bahwa resepnya mungkin tidak usah diperbaharui tetapi si pasien harus meneleponnya bila sintoma-sintoma itu timbul lagi.
Pil-pil “ajaib” itu tentu saja tak lebih dari placebo belaka. Pil-pil itu tidak mengandung sifat-sifat farmakologis. Tetapi keampuhan mereka bagi usahawan tadi tetap bekerja. Sebab, pil-pil itu merangsang kemampuan tubuhnya untuk mempertahankan dirinya sendiri, setelah diberi kondisi yang layak untuk bebas dari ketegangan dan keyakinan penuhnya bahwa dokter tahu pasti apa yang ia kerjakan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sampai 90 persen dari pasien menderita penyakit yang bisa berakhir dengan sendirinya. Yang sebenarnya ia masih dalam lingkup daya penyembuhan tubuhnya sendiri.
Seorang dokter tahu bagaimana membedakan secara efektif mana pasien yang dapat sembuh tanpa campur tangan mereka. Dokter tersebut tidak akan membuang waktu untuk tidak memperlamban proses penyembuhan alamiah dari mereka.
Untuk orang-orang ini, dokter mungkin memberikan suatu placebo. Karena pasien akan merasa lebih tenang dengan menggenggam secarik resep, maupun karena dokter itu tahu bahwa placebo benar-benar dapat melayani suatu tujuan terapis.
Jadi placebo itu lebih merupakan proses dan bukan cuma pil. Prosesnya bermula dengan kepercayaan pasien kepada dokternya dan berlanjut pada berfungsinya secara penuh sistem pengebalan dan penyembuhannya sendiri. Proses itu dapat berhasil bukan berkat keajaiban dalam tablet, melainkan karena tubuh manusia adalah apotik yang diisi oleh tubuh itu sendiri.
Menurut pendapat para ilmuwan, placebo kuat karena ia menerjemahkan kehendak untuk hidup menjadi kenyataan fisik. Dan mereka sudah berhasil membuktikan fakta bahwa placebo munyulut perubahan bio-kimiawi tertentu dalam tubuh.
Fakta bahwa suatu placebo tidak akan menimbulkan akibat fisiologis apabila pasien tahu bahwa obat itu placebo, hanya meneguhkan pendapat tentang kemampuan tubuh manusia untuk mengubah harapan menjadi perubahan biokimia yang nampak dan mutlak perlu.
Kehandalan Placebo
Placebo merupakan bukti bahwa tidak ada pemisahan sesungguhnya antara pikiran dan tubuh. Penyakit selalu merupakan interaksi antara keduanya. Ia dapat tumbuh dalam pikiran dan berakibat pada tubuh, atau ia dapat bermula dalam tubuh lalu berakibat pada pikiran. Keduanya dilayani oleh aliran-aliran darah yang sama.
Usaha-usaha memperlakukan kebanyakan penyakit tubuh, seolah pikiran sama sekali tidak terlibat di dalamnya haruslah dianggap kuno mengingat bukti-bukti baru tentang cara berfungsinya tubuh manusia.
Placebo memang tidak akan berhasil dalam semua keadaan. Kemungkinan penggunaan yang berhasil berbanding langsung dengan sifat hubungan pasien dengan dokternya. Sikap dokter terhadap pasien; kemampuannya untuk meyakinkan pasien bahwa ia tidak sedang dianggap enteng; keberhasilannya mendapat kepercayaan penuh dari pasien -semua merupakan faktor vital bukan hanya dalam memaksimalkan daya guna placebo, tetapi dalam pengobatan terhadap penyakit pada umumnya.
Dalam hal tiada hubungan erat antara dokter dan pasien, penggunaan placebo mungkin tak banyak gunanya atau prospeknya. Dalam arti ini, dokter itu sendiri merupakan placebo yang paling kuat.
Sebuah contoh menonjol dalam peranan dokter untuk membuat placebo berhasil, dapat dilihat pada eksperimen dimana pasien dengan bisul-lambung berdarah dibagi dalam dua kelompok. Anggota-anggota kelompok pertama diberitahu oleh dokter bahwa ada suatu obat yang baru ditemukan yang niscaya akan mendatangkan rasa enak.
Kelompok kedua diberitahu oleh para perawat bahwa ada suatu obat percobaan baru yang akan diberikan, tetapi sangat sedikit yang sudah diketahui mengenai efeknya.
Ternyata tujuh puluh prosen dari orang kelompok pertama menjadi banyak berkurang penderitaanya. Hanya 25 persen dari pasien dalam kelompok kedua yang mengalami manfaat yang sama. Kedua kelompok itu diberi obat yang sama: placebo.
Berapa banyak data ilmiah yang telah dikumpulkan mengenai keampuhan placebo? Kepustakaan medis selama seperempat abad terakhir meliput kasus-kasus dalam jumlah yang cukup mengesankan.
Dr. Henry K. Beecher, ahli anestesi pada Harvard University, memeriksa hasil 15 penelaahan yang melibatkan 1.082 orang pasien. Ia menemukan bahwa dalam seluruh lingkup luas tes ini, 35 persen dari pasien senantiasa mengalami “rasa sembuh yang memuaskan” bila dipakai placebo dan bukan pengobatan biasa untuk berbagai problem medis, termasuk rasa sakit luka sesudah operasi, mabuk laut, sakit kepala, batuk dan kecemasan.
Dr. Stewart Wolf menulis bahwa efek-efek placebo “tidaklah imajiner namun niscaya sugestif dalam arti kata yang lazim”.
Pernyataannya dihubungkan dengan hasil-hasil tes dimana suatu placebo menimbulkan suatu kondisi darah dimana sel-sel darah yang khusus –bernama eosinophil- menumpuk sampai melebihi jumlah yang lazim dan beredar di seluruh jaringan. Wolf juga melaporkan suatu tes yang diselenggarakan oleh rekannya dimana suatu placebo mengurangi jumlah lemak dan protein dalam darah.
Bila seorang pasien penderita penyakit Parkinson diberi placebo namun ia diberi tahu bahwa ia sedang menerima obat, maka tremornya berkurang secara menyolok. Setelah efek placebo hilang, bahan yang sama dimasukkan ke dalam minuman susunya tanpa sepengetahuannya, tremor tadi timbul kembali.
Walau placebo dapat mendatangkan banyak manfaat, ia juga dapat mendatangkan banyak kerugian. Jaringan kelabu otak merangsang perubahan bio-kimiawi yang negatif seperti halnya yang positif. Beecher menekankan semenjak lama yaitu tahun 1955 dalam Journal of the American Medical Association bahwa placebo dapat mendatangkan efek obat mephenesin pada kecemasan.
Pada beberapa pasien, placebo dapat menimbulkan reaksi merugikan seperti rasa mual, pusing dan jantung berdebar-debar. Bila placebo menggantikan mephenesin, ia menghasilkan reaksi serupa dalam persentase tekanan yang sama.
Salah seorang pasien, setelah meminum placebo, mendapat gatal-gatal kulit yang lenyap segera setelah placebo dihentikan pemberiannya. Seorang pasien lain pingsan dalam kejutan alergis ketika ia menelan placebo, dan lagi ketika ia menelan obat. Pasien ketiga mengalami sakit perut dan penumpukan cairan di bibirnya dalam sepuluh menit sesudah menelan placebo- bahkan sebelum ia menelan obat itu.
Dalam arti yang bahkan lebih mendasar, dapat dipertanyakan apakah juga etis atau apakah bijaksana bagi dokter untuk memupuk kepercayaan mistik pasien dalam pengobatan.
Bertambah banyak dokter yang berpendapat bahwa mereka tidak boleh mendorong para pasien untuk mengharapkan resep. Sebab mereka tahu bahwa betapa mudahnya memperdalam ketergantungan psikologis maupun fisiologis si pasien pada obat-obat ataupun pada placebo. Pendekatan demikian mengandung resiko bahwa pasien akan menyeberang jalan pergi ke dokter lain. Tetapi, jika cukup banyak dokter yang mendobrak kebiasaan dalam hal-hal begini, ada harapan bahwa si pasien akan memandang kertas resep itu dari segi lain.
Kemauan Untuk Hidup, Lebih Penting
Disangsikan apakah placebo –ataupun obat apa saja- akan menghasilkan banyak tanpa kemauan hidup yang kuat dari pasien. Sebab kemauan untuk hidup merupakan jendela ke masa depan. Ia membuka orang pada bantuan apapun yang dapat disajikan oleh dunia luarnya, dan ia menghubungkan bantuan itu pada kemampuan tubuhnya sendiri untuk memerangi penyakit.
Kehendak untuk hidup memungkinkan tubuh manusia untuk menarik manfaat terbaik dari dirinya. Placebo memainkan peran dalam mengubah kemauan hidup dari suatu konsep si puitis menjadi realitas badaniah dan kekuatan yang mengatur.
Pada akhirnya, nilai tertinggi placebo adalah apa yang bisa ia katakan kepada kita tentang hidup. Bagaikan seorang pegawai surgawi, placebo membawa kita melalui lorong-lorong jiwa yang belum terjelajahi dan memberikan kepada kita rasa keabadian yang lebih besar daripada jika kita sehari-harinya melekatkan mata kita pada teleskop raksasa di Mount Palomar.
Yang kita lihat pada akhirnya adalah bahwa placebo tidak benar-benar perlu dan bahwa pikiran dapat melaksanakan tugas yang sulit dan luar biasa tanpa usah didorong oleh pil-pil kecil. Placebo hanya merupakan benda nampak yang menjadi diperlukan dalam suatu jaman yang merasa tak tentram dengan benda-benda yang tak nampak, suatu jaman yang lebih suka berpikir bahwa tiap efek dalam harus mempunyai sebab dari luar.
Berhubung ia memiliki ukuran dan bentuk serta dapat dipegang dengan tangan, placebo memuaskan dambaan sementara akan mekanisme yang tampak. Tetapi placebo akan larut dalam pengamatan, yang mengatakan kepada kita bahwa ia tidak dapat membebaskan kita dari kebutuhan untuk berpikir secara mendalam tentang diri kita sendiri.
Maka, placebo adalah duta antara kemauan hidup dan tubuh. Tetapi utusan ini dapat disingkirkan. Bila kita dapat membebaskan diri kita dari apa-apa yang kelihatan, kita dapat menghubungkan harapan dan kemauan hidup langsung dengan kemampuan tubuh untuk menyambut ancaman dan tantangan yang besar.
“Pikiran dapat melaksanakan fungsi serta kekuatannya yang tertinggal atas tubuh tanpa ilusi campur tangan kebendaan”, kata John Milton, “dan sendirian ia dapat membuat neraka menjadi sorga, dan sorga menjadi neraka”.
(sumber: Norman Cousins/Saturday Review)
***