Dua ribu empat ratus tahun yang lalu, ketika ilmu pengetahuan belum seluas sekarang, Hippocrates –seorang filsuf Yunani yang terkenal itu- sudah memastikan bahwa pusat daya pikir manusia ada dalam rongga tempurung kepalanya.
Kalau batok kepala itu kita belah, terbentanglah di hadapan kita segumpal zat berwarna kuning-keabuan. Itulah otak. Volumenya kurang lebih 1,7 liter dan terdiri dari 100 milyar sampai satu trilyun sel-sel syaraf yang terbelit dalam acuan sel pembungkus.
Dalam usaha menguak misteri otak manusia, para ahli biasa melakukan eksperimen-eksperimen terhadap otak binatang, kera, cacing, dan tikus misalnya. Dengan membenamkan mikroskop listrik ke dalam otak, sel-sel syaraf satu demi satu “dibongkar” dan diamati tingkah lakunya.
Untuk memperoleh “peta” daya pikir manusia, sejumlah senyawa radioaktif yang tidak begitu membahayakan disuntikkan ke dalamnya. Lewat pertolongan alat-alat mutakhir, dapat diketahui sel-sel mana yang berekasi setelah mendapat rangsangan tertentu, dan mana yang tidak. Hasil penelitian itu pun “direkam” pada recorder-recorder yang sudah disiapkan sebelumnya.
Dari peta daya pikir itu dapat ditunjukkan, ada bagian-bagian tertentu yang mempunyai tugas khusus. Kemampuan bicara dan mereka-reka bentuk misalnya, terletak dalam korteks serebral, sedangkan daya ingat terletak pada struktur limbis. Tapi belakangan disadari aktivitas apapun yang terjadi di salah satu bagian sebetulnya juga melibatkan bagian lainnya. Memang, akhirnya memori tersimpan dalam korteks, namun itu terjadi setelah sebelumnya melalui bagian-bagian lain.
Sebagai markas besar seluruh sistem syaraf, tugas otak yang paling utama adalah menerjemahkan “pesan-pesan” yang dibawa padanya. Pesan tersebut kemudian diubah menjadi impuls-impuls elektrokimiawi, untuk disimpan sebagai memori. Bila satu ketika diperlukan ia dapat dikeluarkan kembali, juga dalam bentuk impuls elektrokimiawi, tanpa memorinya harus dihapus dari sana.
Memori Manusia
Ada tiga bagian yang terdapat dalam otak manusia, yaitu cerebrum (bagian atas otak), cerebellum (benda kecil yang mengatur pusat susunan syaraf utama dan gerak tubuh kita), dan batang otak. Suatu benda warna abu-abu yang menutupi otak disebut cerebral cortex yang berisi neuron-neuron atau sel otak.
Otak manusia memiliki sekitar 100 milyar neuron. Setiap neuron membentuk jembatan yang mengakibatkan otak kita menjadi suatu jaringan yang amat rumit.
Menurut para ahli anatomi syaraf dan ahli susunan kimia syaraf, neuron inilah yang berfungsi melakasanakan pekerjaan utama otak, “merambatkan” getaran dari syaraf pancaindera yang tersebar di sekujur tubuh. Bagian itulah yang membuat manusia mampu mengingat dan menganalisa sesuatu.
William Shoemaker dari Salk Institute di La Jolla, California, mengibaratkan neuron dengan sebuah komputer kecil. Setiap neuron yang menerima sinyal-sinyal elektrik akan menjadi neurotransmitter (pemancar syaraf) ke arah neuron berikutnya, hingga berlangsung arus listrik yang menyalurkan “pesan-pesan” dalam otak.
Kalau kita melihat sesuatu, maka akan terjadi perubahan fisik pada otak kita. Bentuk apapun yang terlihat, direkam oleh retina mata sekitar satu detik, lalu rangsangan itu masuk ke dalam otak dan kemudian neuron-neuron mulai bekerja.
Hal yang sama juga terjadi bila telinga kita mendengar suara-suara. Suara itu akan menggema selama empat detik dalam rongga telinga, kemudian diteruskan ke dalam otak, dimana neuron pun siap bekerja.
Bagaimana dan di mana memori tersimpan dalam otak?
Pertanyaan ini sejak dulu terus menjadi tumpuan perhatian para ahli. Tahun 50-an misalnya, sekelompok psikolog meneliti apa yang disebut engram, perubahan struktur otak saat “merekam” hal-hal baru. Tahun 60-an sekelompok ahli lain melakukan percobaan dengan sejenis cacing. Mereka ingin membuktikan bahwa memori disimpan oleh molekul-molekul yang serupa dengan molekul penyimpan pesan genetik DNA. Sayang penelitian ini dianggap gagal, karena nyatanya tak bisa diulang oleh kelompok peneliti lain.
Pada tahun 70-an terjadi kasus menarik, ditemukan oleh Neil Cohen dari Universitas California. Para penderita amnesia –yaitu suatu penyakit kehilangan memori- ternyata dapat dilatih kemampuannya mengenal kata-kata dan bentuk-bentuk baru secara berulang-ulang. Padahal mereka telah kehilangan sebagian besar daya ingatnya.
Suatu percobaan lain lagi membuktikan, tikus yang sengaja dibuat menderita amnesia, ternyata mampu mengingat kembali jalur lorong-lorong yang baru dipelajarinya.
Kenyataan tersebut, akhirnya mendorong Richard Hirsh dari Universitas McGill untuk membagi daya ingat manusia (memori) menjadi dua: memori “fakta” (fact memory), dan memori “kecakapan” (skill memory).
Yang pertama, memori “fakta” adalah suatu kemampuan mengingat informasi yang eksplisit, seperti nama, tanggal, tempat, wajah orang, kata-kata, peristiwa penting, dan sebagainya. Memori inilah yang kurang pada penderita amnesia, sedang pada orang lain sudah ada dengan sendirinya.
Memori fakta biasanya mudah diingat, sebab berhubungan atau direkam bersama konteks terjadinya. Misal, “Saya berjumpa Anita di tempat pesta kemarin”. Tetapi memori ini pun gampang sekali terlupakan, kendati ada yang bisa tersimpan dalam jangka waktu lama.
Yang kedua, memori kecakapan, malahan sebaliknya. Ia kurang berkaitan dengan pengenalan secara sadar, melainkan hasil dari latihan berulang kali. Contohnya: naik sepeda, main instrumen musik, menyelesaikan teka-teki silang, dan lain sebagainya.
Kecakapan ini, sekali terkuasai, sulit dibuang atau hilang. Itu sebabnya, teknik lari seorang atlet atau “gaya” tari seorang penari akan sulit untuk diubah.
Lalu bagaimana otak menghubungkan hal-hal yang baru dengan kesan-kesan lama? “Rahasianya terletak pada hippocampus (bubungan di sepanjang tepi bilik otak)”, kata Squire, Cohen, dan psikolog Lynn Nadel. Ini berupa kumpulan jaringan syaraf sebesar jari tangan terlipat dalam satu kerutan di bawah bagian otak. Ia ibarat sebuah switchboard pada kantor telepon, yang bertugas menghubungkan beberapa daerah dalam korteks, bila sewaktu-waktu diperlukan. Tapi setelah beberapa lama, daerah korteks itu belajar “berhubungan langsung”, dimana mereka langsung mengadakan hubungan secara independen diantara mereka, tanpa bantuan “switchboard” hippocampus. Pendek kata, sudah terjadi konsolidasi.
Pada manusia normal, konsolidasi antar bagian dalam korteks itu terjadi secara dinamis. Beberapa bagian mungkin akan lenyap dengan sendirinya, tetapi pada bagian yang lain akan menguat.
Fakta ini dapat menjelaskan mengapa orang yang berusia lanjut sering mengeluh, kok mereka mampu mengingat kejadian-kejadian 50 tahun lalu, tapi tidak sanggup mengingat-ingat peristiwa seminggu yang lalu.
Kenangan pada masa lebih muda tampaknya bisa lebih kuat lantaran sudah terkonsolidasi (terikat kuat) selama puluhan tahun.
Dalam bentuk apa memori tersimpan di otak?
Para ilmuwan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan meninjau binatang menyusui, yang sistem syarafnya sedikit rumit, dan binatang yang sistem syarafnya lebih sederhana.
Eric Kandel dari Universitas Columbia, New York, dibantu beberapa rekannya berhasil menggambar diagram pengenalan sel demi sel pada siput laut Aplysia dengan sistem syaraf hanya 20.000 saja.
Kandel menemukan bahwa pengenalan terjadi bila sel-sel syaraf tertentu mulai mengeluarkan sedikit atau banyak neurotransmitter. Kandel mendapatkan bahwa pada siput Aplysia, proses belajar mengingat terjadi berkat peranan serotonin, suatu neurotransmitter yang secara bio-kimiawi mirip hormon adrenalin pada manusia.
Dalam suatu percobaan diperoleh keterangan, bahwa tikus yang disuntik dengan adrenalin menyebabkan ia mengenal lebih cepat dan mampu mengingat lebih baik.
Studi ini membantu menjelaskan kenapa peristiwa yang menggembirakan atau mengejutkan, seumpama cinta pertama, senyum memikat si dia, kematian seorang sahabat, peristiwa huru-hara, dsb akan tetap bertahan di benak kita. Hal ini disebabkan karena peristiwa emosional tersebut berkaitan dengan produksi hormon adrenalin, si pembentuk energi manusia.
“Karena itu”, kata James McGaugh dari Universitas California, “Otak manusia akan melakukan pencatatan terbaik pada saat ia terangsang”.
Masih Misterius
Teori-teori baru tentang memori terus akan bermunculan. Namun agaknya pertanyaan-pertanyaan baru pun terus akan mengalir, memancing misteri. Apakah kapasitas memori manusia terbatas atau tidak? Apakah ada hubungan antara konsolidasi memori dengan mimpi? Kelainan apa yang terjadi pada otak orang-orang yang memiliki memori fotografis?
Pertanyaan seperti itu terus akan menggoda. Dan para ahli ternyata makin hati-hati menarik kesimpulan. Karena nyatanya, tak pernah ditemukan dua otak yang persis sama bentuk dan strukturnya. Lagi pula cara kerja otak manusia itu tidak satu macam, dan belum semua terungkap secara pasti. Tapi umumnya para ilmuwan adalah orang yang paling optimis. “Semua rahasia pasti ada tabir penutupnya!” Begitu kan?
*** Penulis: Nilna Iqbal