“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. 33:56)
Shalawat yang disampaikan Allah Ta’ala dan para malaikatNya menggunakan kata “yushalluuna” (bentuk present tense, fi’il mudhari’, bentuk sekarang). Dalam terjemahan yang lebih gramatikal dan harfiah, ayat itu harus kita terjemahkan sebagai berikut: bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala dan para malaikatNya SENANTIASA bershalawat kepada Nabi. Sepanjang ada alam semesta, selama ada manusia, sejauh ada makhluk, selama itu pula Allah Ta’ala dan malaikatNya menyampaikan shalawat kepada Rasulullah SAW. Baru setelah itu Allah SWT menyerukan, “Hai orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Dalam bahasa Arab kalau shalat itu satu ia disebut “shalat”, tetapi dalam bentuk jama’ disebut “shalawat”. Shalat artinya “doa”. Karena itu para ulama sering mengatakan, “Al-shalatu wa al-salamu ‘ala Rasulillah“, artinya shalat dan salam untuk Rasulillah SAW. Disebutkan kata shalat disitu yang artinya doa kepada Rasulullah dan keluarganya.
Jadi bershalawat itu termasuk kewajiban kita sebagai muslim yang tidak boleh ditinggalkan apalagi dipandang remeh.
Makhluk (iblis) yang enggan sujud kepada Adam dianggap takabur dan termasuk golongan orang yang kafir. Lalu bagaimana dengan manusia yang enggan untuk bershalawat kepada Rasulullah SAW?
Bukankah kita diperintah untuk berakhlak sesuai akhlaq Tuhan? “Takhallaquu bi akhlaqillah” (berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah SWT).
Kalau Allah SWT bershalawat kepada Nabi kemudian kita tidak melakukannya, bukankah kita benar-benar makhluk cilaka?