Hari itu Sulaiman bin Ja’far Al-Ja’fari bersama-sama Imam Ridha, keluar untuk suatu keperluan. Menjelang malam, Imam mengajaknya datang dan menginap di rumah.
Setibanya disana, Imam melihat pegawai-pegawainya tengah sibuk membatik. Nampak pula diantara mereka seorang asing yang tidak dikenal.
“Siapa dia?” tanya Imam kepada para pegawainya.
“Seorang buruh yang kami ambil dan diupah,” jawab mereka.
“Baik! Berapa upah yang kalian tentukan untuknya?”
“Nanti akan kami berikan seberapa yang dia rela.”
Kemarahan nampak di wajah Imam. Dia pergi mengambil cambuk untuk mengajar kecerobohan pegawai-pegawainya. Sulaiman berkata, “Imam, kenapa Anda harus marah?”
“Telah berkali-kali kukatakan kepada mereka agar jangan mengupah seseorang selagi imbalan gajinya belum ditentukan. Pertama-tama tentukan dahulu upahnya, baru kemudian dia bekerja. Kalau gaji seseorang telah ditentukan sebelumnya, kalaupun akan ditambah dengan uang ekstra tidaklah apa-apa; dan dia, pada gilirannya, akan sangat berterima kasih atas itu. Disamping itu hubungan kalian akan bertambah erat, dan dia akan sangat menyukai kalian.”
“Seandainya kalian tetap hanya memberikan upah sekadar upah yang telah ditentukan sebelumnya, dia pun masih akan rela menerimanya. Ini berbeda dengan seseorang yang bekerja tanpa mengetahui gaji yang akan diterimanya. Karena seberapa banyak yang kalian berikan kepadanya, dia tetap tak akan percaya bahwa itu adalah hadiah dari kalian, bahkan dia menduga bahwa kalian telah memberi upah lebih sedikit dari yang seharusnya dia terima.”
*Bikhar Al-Anwar, jilid XII, hal 31
(Dikutip dari Kisah Sejuta Hikmah, oleh Murtadha Muthahhari, terbitan Pustaka Hidayah)