Menyedihkan! Calon-calon penganggur, calon-calon dhu’afa, dan orang-orang miskin terus meningkat dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan manusia. Sungguh menyedihkan sekali, yang menghadapi problem sosial ini sebagian besar justru kita umat Islam. Boleh dibilang, ini problem umat Islam. Akankah kita tega membiarkannya?
Hai orang berselimut, bangkitlah…
Kekayaan strategis kita yang sesungguhnya adalah umat. Manusia (umat Islam) adalah asset yang sangat mahal sebetulnya. Kita melihat betapa banyak negara yang miskin sumber daya alamnya, namun bisa menjadi negara yang tertinggi GNP-nya. Swiss dan Jepang misalnya.
Bahkan Korea Selatan yang pada tahun 1965 lalu sama miskinnya dengan Indonesia kini telah jadi negara yang relatif sejahtera, karena mereka mendahulukan serta sangat mementingkan pengembangan kualitas sumber daya manusia.
Selain itu, bila lebih jauh dikaji, salah satu kelemahan lain umat Islam adalah masih lemahnya struktur ekonomi mereka serta kemampuan yang juga belum terbina dengan baik. Organisasi-organisasi Islam pun masih rapuh fondasinya dalam menghadapi gejolak masa datang.
Masa depan yang penuh dengan berbagai perkembangan baru, sekaligus juga membonceng tantangan-tantangan baru, di samping tentu akan membawa serta problem-problem baru. Nilai-nilai senantiasa berubah. Pandangan hidup dan aneka informasi dunia melingkupi masyarakat. Tak dapat tidak tantangan ini tak boleh dihindari begitu saja. Ia akan datang, bergejolak dan pasti. Yang jelas, bagaimana kesiapan kita sebagai umat Islam untuk menghadapinya.
Yang kita lihat sampai kini, masih amat minim perhatian kita menggugah kesadaran pentingnya arti penguasaan ekonomi di kalangan umat Islam. Masih seberapa persen pengusaha muslim yang betul-betul berhasil secara nyata? Masih kurang!
Masih terlalu banyak orang kita yang lebih suka berebut kursi ‘pegawai negeri’ sebagai tujuan akhir hidupnya. Mereka lebih suka memilih ‘jalan mudah lagi aman’. Padahal kita ingin mereka mampu mandiri dan menentukan diri mereka sendiri. Dengan demikian beban pemerintah ‘menyuapi’ rakyat banyak pun akan terkurangi.
Oleh sebab itu mari kita kembangsuburkan pembinaan manusia-manusia mandiri, manusia-manusia wiraswastawan, manusia berwatak pengusaha dari kalangan umat Islam; di samping tentu tidak mengabaikan pembinaan ke arah kualitas intelektual dan profesi lainnya.
Kita galakkan semangat berusaha (beramal saleh), semangat kompetisi (fastabiqul khairat), semangat berjuang dalam lapangan ekonomi-bisnis (jihad).
Para aktivis masjid, dan program-program sosial kemasyarakatan lainnya, hendaknya lebih banyak menitikberatkan pada upaya membantu masyarakat desa agar mampu mandiri, baik membantu mereka dalam usahanya, atau membina mereka dalam manajemen usaha/koperasi, atau mencarikan cara buat mengatasi permodalan.
Bentuk-bentuk bakti-sosial yang lebih banyak menghambur tenaga dan biaya lebih baik diganti dengan usaha-usaha lain yang lebih membangun mereka atas kekuatan diri sendiri. Demikian juga halnya dengan para pemuda desa. Raihlah tangan mereka agar mau bekerja dan berusaha. Bimbinglah mereka dalam usaha/bisnis. Bantulah keuangan/modal mereka dengan layak dan sehat.
Bank Wakaf, Bisakah?
Upaya rekayasa kondisi sosial-ekonomi umat ini akan lebih baik lagi jika dibarengi dengan dibentuknya “Bank Wakaf” yang bekerja secara mandiri. Berbeda dengan bank biasa, dana yang diwakafkan masyarakat itu tidak lagi menjadi milik perseorangan, atau lembaga, atau perusahaan yang menyerahkan dana tersebut.
Ia seolah-olah ‘dana gratis’, tanpa perlu ditarik nasabah, apalagi mesti bayar bunga. Bisa dibayangkan alangkah kayanya “bank wakaf” itu. Tinggal bagaimana mengelolanya secara modern dan profesional.
Kalau perlu cabangnya tersebar luas di setiap pelosok daerah, sehingga betul-betul mampu membantu masyarakat lemah, memberantas kemiskinan dan pengangguran. Tidak seperti bank biasa yang kita kenal selama ini, mereka mengambil dana masyarakat dari seluruh penjuru negeri sampai ke pelosok-pelosok desa (lewat tabungan, giro, deposito, dll), lalu sebagian besar justru didistribusikan lebih banyak di kota-kota, khususnya ibukota negara.
Uang disedot dari masyarakat kecil, lalu disalurkan mayoritasnya pada hanya segelintir nasabah-elit. Ya tentu saja, tak banyak uang berputar di kecamatan-kecamatan, apalagi di desa-desa. Tentu saja, kita tak bisa menyalahkan, sebab memang motifnya adalah keuntungan ekonomi.
Bila ada bank wakaf ini, karena resikonya tidak besar, tentu akan bisa menfokuskan diri pada missi kesejahteraan umat. Dana yang ada akan lebih baik diputar di tempat bank tsb berada, sehingga bergeraklah mesin-mesin ekonomi, mesin-mesin produksi.
Dalam operasinya ia bahkan dapat berlaku seperti lembaga penjamin, lembaga perbankan, lembaga pembiayaan, lembaga penyertaan modal “venture capital”, dan untuk itu bisa bekerja sama dengan bank-bank umum, bank-bank Islam, BPR atau bahkan koperasi-koperasi.
Namun ia bukan bisnis untuk perseorangan/kelompok. Pemegang sahamnya adalah seluruh umat Islam, oleh sebab itu ia menjadi asset (kekayaan) bagi pengembangan usaha-usaha syiar Islam.
Selain itu, agaknya perlu juga didirikan banyak sekali perusahaan yang pemegang sahamnya dimiliki oleh masyarakat biasa/awam, bahkan juga terbuka untuk anak-anak yatim dan orang-orang miskin juga punya saham dengan cara hibah, waqaf dan sedeqah umat Islam.
Jadi akan bertebaranlah perusahaan-perusahaan milik masyarakat banyak. Bukan hanya koperasi yang berbasis “modal masyarakat”. Berbagai bentuk badan usaha lainnya pun bukan tidak mungkin, khususnya bahkan untuk usaha-usaha yang akan mensejahterakan masyarakat.
Perbanyak Laboratorium Bisnis
Lebih jauh lagi, guna menyeimbangkan kemampuan umat dalam lapangan ekonomi-bisnis, pembinaan kualitas umat juga perlu kita tingkatkan. Bila Anda punya perusahaan, apa salahnya membentuk sebuah unit “Laboratorium Bisnis” tempat para pemuda, pengangguran, atau para sarjana yang baru lulus “belajar menjalankan bisnis” di laboratorium tsb.
Disini, para pengelola akan mengalami “proses bisnis” sebenarnya. Saya kira perusahaan tidak akan rugi. Awalnya mungkin keuntungan perusahaan dari laboratorium tsb memang kecil, namun ia akan berkembang seiring dengan meningkatnya kemampuan “pengelola”.
Tapi tentu saja, para pengelola tidaklah mereka yang akan dicetak hanya untuk menjadi “pegawai/karyawan biasa” belaka, melainkan mereka yang siap dibentuk menjadi kader-kader pengusaha dan manager-manager profesional, wiraswastawan-wiraswastawan tangguh dan tenaga-tenaga kerja trampil.
Bisa jadi unit laboratorium ini mampu melahirkan “perusahaan-perusahaan” baru yang lebih inovatif dan kreatif, karena proses yang dilakukan lebih pada “learning program”. Bukankah ini sangat menguntungkan juga buat perusahaan?
Apalagi jika yang membina laboratorium tsb langsung sang pimpinan perusahaan. Ia berarti mensedeqahkan ilmu dan pengalamannya yang pasti akan dibalas oleh Allah SWT dengan imbalan berlipat ganda.
Sekolah Bisnis
Adalah lebih baik pula bila diperbanyak tumbuhnya sekolah-sekolah alternatif yang tidak perlu terlalu terikat dengan model sekolah pemerintah. Sekolah ini memang bertujuan “mencetak” pengusaha dan professional yang siap menyongsong tantangan industri saat ini.
Barangkali dengan sistem pendidikan yang sama sekali berbeda. Yang diasah tidak hanya kognitif (knowledge) saja, melainkan lebih kepada kepribadian dan keterampilan (technical, managerial dan leadership).
Saya pernah membayangkan adanya sekolah yang menerima muridnya pada usia 7 tahun. Lalu mereka dididik, dilatih, dan dikembangkan sedemikian rupa, sehingga pada usia “lulus SLTA”, sekitar 18 th, mereka benar-benar sudah mandiri, professional, trampil, dan berakhlaq mulia.
Barangkali kombinasi pendidikan pesantren, militer dan sekolah bisnis sangat tepat diracik jadi satu konsep utuh yang handal.
Karena fokusnya adalah mencetak pengusaha, maka sebenarnya ruang belajar mereka bukan di kelas-kelas belaka, melainkan mereka alam lingkungan mereka. Di kelas mereka belajar aspek-aspek pengembangan akal, intelektualitas, dan kognitif mereka.
Pada waktu yang bersamaan mereka langsung “praktek usaha” sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing. Mereka belajar hidup. Mereka belajar membaca situasi. Mereka belajar mengatasi masalah, mereka belajar bekerjasama. Mereka juga belajar memimpin.
Dalam prakteknya, misalkan saja, siswa-siswa pada usia SLTP sudah mendirikan perusahaan masing-masing. Apa yang mereka alami dalam menjalankan usahanya, menjadi bahan-belajar di kelas-kelas sesuai mata pelajarannya masing-masing. Begitu seterusnya sampai SLTA, sehingga pengetahuan ekonomi, bisnis, moneter, fiskal, dsb mereka kuasai sepenuhnya.
Ketika mereka lulus, mereka bukan lagi pengangguran. Mereka telah menjadi pengusaha, yang mempunyai ilmu, yang telah terlatih dengan disiplin yang tinggi, dan tergembleng sikap dan moralnya selama “nyantri” di sekolah bisnis tsb.
Ah, tapi ini memang baru berandai-andai. Mungkinkah ini bisa? Bagaimana menurut Anda?